KH.Masyhuri Malik |
Liputan News-Sabtu,5 Juni 2015.KH Masyhuri Malik dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 16 Oktober 1954. Ayahnya bernama H.Abdul Malik, dan ibunya Ny. Hj. Parmi Aisyah. Dari pernikahannya dengan Hj. Qomariyah ia dikaruniai empat orang putra-putri yakni Athia Yumna, Ahmad Faisal, Muthia Diyani dan Hanna Fauziyah.
Ia adalah pendiri sekaligus pimpinan Yayasan Perguruan Islam “Ar-Raudhah” Bekasi dan Dewan Pendiri/Pembina Yayasan Pondok Pesantren Al-Hidayah Limpung, Batang.
Aktifitasnya di NU dimulai semenjak muda. Ia tercatat sebagai Ketua Umum PMII IAIN Yogyakarta (1978), Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Cabang Batang (1980).
Ia melanjutkan aktivitas ke-NU-annya mendekati pusat kota Jakarta sebagai sekretaris PCNU Bekasi, lalu ketua PCNU Kabupaten Bekasi (1995-2000), selanjutnya ia menjadi mustasyar PCNU yang sama sampai tahun 2005.
Kemudian mendapatkan amanah sebagai Ketua Pengurus Pusat Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) sekaligus Anggota Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Pelaksana Program Kaderisasi PBNU sejak 2011 hingga sekarang,sumber ical "mm center" kepada liputannews.com, sabtu,(06/06/2015).
Santri Kelana
Masyhuri menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya, di SDN Bawang dan SMP Limpung Batang. Pada saat yang sama ia nyanti di Pondok Pesantren Plumbon Limpung Batang kepada KH Syair (Rais Syuriyah PCNU Batang). Setelah beranjak remaja, Masyhuri diperintakan oleh ayahnya untuk melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Al Hidayat Lasem, berguru langsung kepada KH Ma’shoem Ahmad, salah seorang sesepuh dan pendiri NU.
Menghabiskan masa remajanya di pesantren ini selama 6 tahun dari tahun dari 1969 sampai 1975. Di Pesantren Mbah Ma’shoem ini, ia sempat ditunjuk sebagai sekretaris pondok, sembari diminta mendampingi Mbah Ma’shoem melayani tamu-tamu. Sampai di masa akhir nyantri, ia diminta mengajar santri di pesantren Lasem.
Menghabiskan masa remajanya di pesantren ini selama 6 tahun dari tahun dari 1969 sampai 1975. Di Pesantren Mbah Ma’shoem ini, ia sempat ditunjuk sebagai sekretaris pondok, sembari diminta mendampingi Mbah Ma’shoem melayani tamu-tamu. Sampai di masa akhir nyantri, ia diminta mengajar santri di pesantren Lasem.
Seperti para santri tempo dulu, sosok Masyhuri Malik tidak merasa cukup hanya belajar di satu pesantren. Para kiai sendiri juga sering menganjurkan para santrinya untuk menambah ilmu dengan berguru kepada kiai-kiai di pesantren lain. Ada istilah “santri kelana” atau santri yang berkeliling dari satu pesantren ke pesantren yang lain.
Dengan menimba ilmu ke beberapa pesantren itu para santri tidak hanya sekedar menambah ilmu, tetapi banyak teman dari berbaga daerah sebagai bekal beraktifitas dan berorganisasi setelah selesai masa nyantri. Inilah juga yang dijalani oleh Masyhuri Malik semasa muda. Selama di Pesantren Mbah Ma’shoem, ia juga meminta izin untuk mengikuti pengajian pasaran/khataman kitab-kitab tertentu kepada para kiai di beberapa pesantren seperti di Pesantren Poncol Salatiga, Kaliwungi Kendal, sampai ke Pesantren Ploso Kediri Jawa Timur.
Setelah enam tahun nyantri di Lasem, Masyhuri muda kemudian melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta sambil mengikuti pendidikan tinggi di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga. Di sana ia tidak hanya nyantri, tetapi juga aktif berorganisasi bersama banyak kader NU dari berbagai daerah di Indonesia.(Red)
Post a Comment